Jual-Beli Sistem salam (Ijon)
Istilah jual beli syar’i seperti jual beli Salam dan Ijon pada saat ini mulai membumi seiring dengan perkembangan perbankan syariah dan lembaga-lembaga keuangan syariah. Akan tetapi banyak pertanyaan mengenai hakikat jual beli Islam, dan banyak pula yang menyampaikannya dengan tidak benar. Oleh karena itu, perlu pengkajian yang lebih mendalam mengenai jual beli dalam Islam dengan mengaitkannya dengan hadis-hadis yang ada.
Berikut ini pendapat para ahli fiqih tentang hukum salam disertai dengan pengarahan dan perdebatannya.
Pengarang Badai' ash-Shanai ' fi Tartibi asy-Syarai' berkata, ”Tasharruf boleh dalam barang yang dipesan. Menurut saya, tidak boleh mengganti barang pesanan sebelum barang tersebut diterima. Misalnya orang yang mempunyai barang mengganti barang tersebut dengan barang lain yang berbeda jenis. Menurut saya meskipun barang yang dipesan berupa utang, tapi juga bisa disebut barang dagangan dan tidak boleh menjual barang dagangan sebelum diterima. Boleh membebaskan pembayaran barang yang dipesan karena penerimaan barang tersebut bukanlah hak pemilik barang. Berbeda dengan pembebasan uang pangkal, karena secara syara' pemilik barang berhak untuk mendapatkan uang pangkal tersebut, maka tidak boleh membatalkan pembayaran uang pangkal tersebut dengan cara pembebasan.”
Ibnu Rusyd dalam Hidayah al-Mujtahz'd wa an-Nihayah al-Muqtashid berkata, ”Perbedaaan ulama adalah dalam menjual barang salam ketika telah datang masa yang ditentukan pemilik barang dan pembeli belum menerima barang tersebut. Sebagian ulama tidak membolehkannya sama sekali. Mereka mengatakan bahwa tidak boleh menjual segala sesuatu yang belum diterima. Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Hanifah, Ahmad, dan Ishaq. Ahmad dan Ishaq mendasarkan pelarangan tersebut pada hadits berikut.
وَمَنْ اَسْلَمَ فِيْ شَئٍ فَلَا يُصِرِّفُهُ اِلَى غَيْرِهِ
“Barangsiapa yang menjual sesuatu secara salam (Ijon) maka hendaklah dia tidak mengalihkannya kepada lainnya”.
Imam malik melarang barang salam yang belum diterima dalam dua hal, yaitu:
Jika barang salam tersebut berupa makanan. Hal ini didasarkan pendapat mazhabnya yang menyatakan bahwa sesuatu yang dalam penjualannya disyaratkan adanya penerimaan adalah makanan.
Jika barang salam tersebut bukan makanan, kemudian pembeli mengambil penggantinya berupa barang yang tidak boleh diserahkan uang pokok sebelumnya. Adanya salam berupa harta benda dan yang digunakan untuk membeli juga harta benda yang berbeda jenis. Kemudian ketika datang waktu penyerahan, pembeli mengambil barang salam dari penjual sesuatu yang jenisnya dengan barang yang dibayarkan. Dalam hal ini ada kalanya kedua barang tersebut sama atau ada tambahan jika harta benda yang diambil lebih banyak daripada uang pangkal yang diberikan. Adapun adanya tanggungan dan penyamaan apabila barang tersebut semisal atau lebih sedikit dari uang pangkal. Begitu juga apabila uang pangkal salam berupa makanan, maka tidak boleh mengambil barang salam berupa makanan lain dengan lebih banyak, baik sejenis maupun tidak. Apabila keduanya berupa makanan yang sama jenis, takaran, maupun sifatnya menurut Abdul Wahab -boleh, karena pengambilannya sebagai pengganti. Begitu juga menurut 'Abdul Wahab boleh dari barang salam yang berupa makanan diganti dengan makanan lain yang sifatnya sama, meskipun lebih sedikit kebagusannya, karena menurutnya hal itu sebagai pengganti dalam dinar dan berbuat kebaikan. Misalnya, jika pembeli memiliki biji gandum kemudian menggantinya dengan biji gandum putih yang takarannya sama. Semua hal tersebut menurut Malik disyaratkan penerimaannya tidak diakhirkan, karena hal itu termasuk mengganti utang dengan utang. Apabila uang pangkal yang diserahkan berupa mata uang, dan barang salam yang diambil berupa mata uang yang sejenis, maka boleh dengan syarat adanya barang tersebut lebih banyak dari uang pangkalnya. Juga tidak ada penyangkaan untuk menjual mata uang dengan mata uang lain secara berjangka jika adanya barang tersebut semisal atau lebih sedikit. Jika menyerahkan beberapa dirham untuk beberapa dinar tidak ada persangkaan untuk mengakhirkan penyerahannya. Begitu juga apabila mengambil beberapa dinar dari selain macam dinar yang dijadikan uang pangkal. Adapun menjual barang salam dari selain orang yang memiliki barang salam dibolehkan dengan segala sesuatu yang dibolehkan untuk berjual-beli selama tidak berupa makanan, karena dapat termasuk dalam penjualan makanan yang belum diterima.
Adapun ketika ada pembatalan persetujuan, menurut Imam Malik di antara syaratnya ialah jika tidak terdapat penambahan atau pengurangan. Apabila terdapat penambahan atau pengurangan maka sama dengan jual-beli dan sesuatu yang terdapat dalam jual-beli. Maksud kami sesuatu yang dapat merusak akad salam yang sama dalam sesuatu yang merusak jual-beli secara berjangka ' seperti adanya lantaran untuk menggabungkan jual-beli dengan salam, meletakkan dan menyerahkan, atau lantaran untuk menjual barang salam dengan sesuatu yang tidak dibolehkan untuk dijual. Contohnya dalam hal jual-beli dan salam adalah ketika datang waktu penyerahan barang, pembeli membatalkan persetujuan dengan hanya mengambil sebagian dan membatalkan sebagian yang lain. Maka hal itu tidak dibolehkan karena termasuk lantaran untuk terjadinya penggabungan antara jual-beli dan salam. Sedangkan menurut Syafi'i dan Abu Hanifah hal itu dibolehkan karena mereka berdua berpendapat tidak adanya keharaman melakukan jual-beli dengan lantaran.
Pengarang Majmu' Syarah al-Muhaddzab mengatakan, ”Dibolehkan merusak akad salam dengan adanya pembatalan persetujuan, karena keduanya mempunyai hak maka dibolehkan bagi keduanya untuk rela adanya pengguguran akad. Apabila keduanya membatalkan akad atau minta pembatalan dengan tidak adanya hasil dari salah satu antara dua pendapat yang berbeda, atau pembatalan atas ucapan yang lain, maka pembeli mengambil kembali uang pangkalnya. Apabila uang pangkal itu tetap, maka wajib dikembalikan. Dan apabila rusak, maka penjual wajib menggantinya. Apabila penjual mengganti barang salam dengan barang lain tidak dibolehkan karena hal tersebut berarti menjual utang dengan utang. Apabila pembeli ingin membeli sesuatu dengan uang pangkal, perlu ada perincian dan pemilahan.
Pengarang Majmu' Syarah al-Muhaddzab mengatakan, ”Dibolehkan merusak akad salam dengan adanya pembatalan persetujuan, karena keduanya mempunyai hak maka dibolehkan bagi keduanya untuk rela adanya pengguguran akad. Apabila keduanya membatalkan akad atau minta pembatalan dengan tidak adanya hasil dari salah satu antara dua pendapat yang berbeda, atau pembatalan atas ucapan yang lain, maka pembeli mengambil kembali uang pangkalnya. Apabila uang pangkal itu tetap, maka wajib dikembalikan. Dan apabila rusak, maka penjual wajib menggantinya. Apabila penjual mengganti barang salam dengan barang lain tidak dibolehkan karena hal tersebut berarti menjual utang dengan utang. Apabila pembeli ingin membeli sesuatu dengan uang pangkal, perlu ada perincian dan pemilahan.
Jika antara kedua hal yang diperjualbelikan terdapat alasan yang sama untuk melakukan riba, seperti menjual dirham dengan dinar atau gandum merah dengan gandum putih, maka penjual dan pembeli tidak boleh berpisah sebelum Berah-terima barang, seperti apabila ingin menjual salah satunya dengan yang lain yang berupa penjualan mata uang dengan mata uang. Namun jika kedua orang tersebut tidak mempunyai alasan ('illat) yang sama untuk melakukan riba seperti dirham dengan gandum dan baju dengan baju, maka dalam hal ini ada dua pendapat :
Pendapat Pertama, Kedua orang tersebut dibolehkan berpisah sebelum penerimaan barang, sebagaimana dibolehkan ketika salah satu diantara keduanya menjual mata uang dengan mata uang dan berpisah tanpa adanya penerimaan.
Pendapat Kedua, Tidak dibolehkan, karena barang yang diperjualbelikan masih ada dalam tanggungan, maka keduanya tidak boleh berpisah sebelum adanya serah-terima seperti barang salam.
Allohu a'lam.
0 Reviews:
Post Your Review